Relief Candi Jadi Motif Kain Batik Borobudur
By Abdi Satria
nusakini.com-Mungkid-Siapa tidak kenal batik? Menjadi salah satu warisan dunia oleh UNESCO, kini batik menjadi media untuk melestarikan relief yang ada di Candi Borobudur, Mendut dan Pawon Kabupaten Magelang. Relief yang terpahat di dinding ketiga candi itu menginspirasi perajin Batik Borobudur untuk dijadikan motif batik.
Kreasi batik bermotif relief ini diciptakan oleh Anggota Paguyuban Batik Borobudur yang berlokasi di Dusun Ngaran 1, Borobudur Kabupaten Magelang. Terdapat sembilan anggota dalam paguyuban ini. Batik Borobudur yang telah berdiri sejak 2015 ini pada awalnya didampingi UNESCO.
“UNESCO ingin menggaet para perajin batik Wisata Desa Borobudur, karena di Borobudur sendiri kan aslinya itu identik dengan batik walaupun di batu. UNESCO pengennya batik dari kain itu ada di Borobudur spesial relief, candi Borobudur, Mendut dan Pawon,” ungkap Siti Rahayu, Anggota Paguyuban Batik Borobudur belum lama ini.
Siti Rahayu mengatakan, setiap beberapa bulan sekali, UNESCO mengadakan pelatihan kepada anggota Paguyuban Batik Borobudur. Bentuk pelatihan yang diberikan berupa ilmu dan alat serta bahan untuk pembuatan batik. Selain itu UNESCO juga menyediakan showroom yang berlokasi di Jalan Badrawati yang selanjutnya berpindah di Dusun Ngaran 1 Borobudur.
Dikatakannya, sebelum adanya pendampingan pelatihan dari UNESCO, para anggota Paguyuban Batik Borobudur ini belum mengenal batik sama sekali, sehingga pendampingan oleh UNESCO ini benar-benar dimulai dari awal.
“Jadi gurunya itu dari Bayat, Klaten Batik Kebon. Itu UNESCO pertama mendampingi di sana, kalau di sana kan memang batik sudah ada dari dulu, jadi lebih enak. Kalau di sini kan benar-benar dimulai dari nol, di sini kami belum mengenal batik sama sekali, jadi masih kaku, masih pemula,” jelas perempuan yang juga hobi menjahit ini.
Berawal dari 20 helai kain pemberian UNESCO, kini Paguyuban Batik Borobudur telah menciptakan sembilan batik bermotif relief Candi Borobudur. UNESCO menggandeng ISI Yogyakarta dalam menggambar motifnya, sehingga mempermudah perajin batik menyalin dan mengembangkan motifnya di kain.
“Kami ada 10 motif relief tapi yang kami pakai hanya sembilan karena yang satunya itu terlalu agamis banget, jadi kami nggak berani karena di situ ada empat pertapa yang mengelilingi (stupa candi) jadi motif itu tidak dipakai,” jelas perempuan berusia 49 tahun ini.
Masing-masing motif memiliki makna yang berbeda-beda sesuai relief yang ada di candi. Aneka macam motifnya seperti kalpataru, lotus mekar, vas teratai dan berbagai macam hewan. Setelah dikembangkan, Batik Borobudur yang dibuat dengan teknik tulis maupun cap ini telah memiliki pasar yang luas, tidak hanya pasar lokal namun juga sampai di pasar internasional.
Tak sedikit turis asing yang membeli karya Batik Borobudur saat berkunjung ke galeri di Dusun Ngaran ini. Ada pula sejumlah artis yang pernah mampir dan memborong Batik Borobudur, diantaranya ada Cornelia Agatha, pemeran Sarah dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Lalu ada juga musisi kawakan Purwacaraka, dan Trie Utami.
Harga kain Batik Borobudur bervariasi
Siti Rahayu menerangkan, harga kain berkisar Rp400 ribu hingga satu juta rupiah untuk kain dengan pewarna alami. Harga taplak berkisar Rp80.000 ukuran 1 meter dengan teknik cap. Batik Borobudur juga mengembangkan menjadi berbagai produk seperti baju, taplak meja dan sapu tangan.
Untuk penggambaran motif ke kain, Siti Rahayu menyebutkan rata-rata membutuhkan waktu sekitar satu minggu. Namun karena para anggota paguyuban juga menyambi pekerjaan lainnya, penyelesaian batik bisa lebih dari satu minggu untuk kain ukuran 2,5 dan 2 meter.
Ia mengungkapkan, pada awalnya pewarnaan yang digunakan hanya menggunakan warna sintetis. Namun selanjutnya berkembang menggunakan pewarna alami. Bahan yang digunakan seperti kayu, daun, dan akar. Pewarna dari mangga biasanya akan menghasilkan warna kuning. Sedangkan pewarna yang berasal dari pohon jati akan menghasilkan warna merah.
Paguyuban Batik Borobudur juga membuka workshop dan galeri di Rumah Ketela Borobudur. Dengan konsep desa wisata, para wisatawan diajari membuat batik dari proses mencanting, pewarnaan, hingga finishing. Mereka juga membuka kesempatan workshop praktik membatik, yaitu membuat sapu tangan bermotif batik yang dibandrol dengan harga Rp25.000. Hasilnya bisa langsung dibawa pulang.
Perempuan yang belajar menjahit lewat kursus ini mengungkapkan, pandemi Covid-19 juga mempengaruhi penjualan Batik Borobudur. Omset penjualannya menurun dibandingkan sebelum pandemi. Selama pandemi, workshop hanya buka beberapa bulan saja dan tutup lagi karena adanya varian omicron yang baru-baru ini muncul.
“Wah pandemi itu ngeri banget, sampai sekarang pun masih ada gejala-gejala dan belum pulih, rata rata kadang lumayan sih, kadang kalau ramai lebaran itu sampai Rp10 juta-an ya, kalau hari biasa ya sekitar Rp5 juta (per bulan),” katanya.(rls)